nusakini.com--Kelangkaan garam yang sempat terjadi akhir-akhir ini seakan mengingatkan semua pihak untuk segera menata kembali aspek industri dan perdagangannya. Pasalnya, garam merupakan salah satu komoditas kebutuhan dasar yang seharusnya dapat diproduksi sendiri oleh Indonesia yang memiliki garis pantai yang panjang.    

“Harga garam lokal kan sempat melonjak, sebelum akhirnya pemerintah harus mengambil langkah impor untuk menstabilkan harga. Artinya, kita harus membenahi kembali aspek industrinya seperti apa, hambatan yang ditemuinya apa dan solusinya seperti apa,” ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto di sela-sela Diskusi Garam di Menara Kadin belum  lama ini.

Menurutnya, keputusan pemerintah mengimpor 75 ribu ton garam konsumsi hingga Agustus dianggap langkah yang sudah baik. Namun, dia meminta pemerintah harus menghentikan impor saat petani garam dalam negeri sudah memasuki puncak produksi akhir bulan ini agar tak membuat harga garam lokal justru menjadi anjlok. 

“Pada saat itulah, kita harapkan pemerintah lebih bijaksana untuk berpihak kepada para petani garam. Bagaimana pun produksi dalam negeri harus tetap diperhatikan,” tegas dia. 

Pemerintah, kata Yugi, hendaknya menyiapkan sistem distribusi garam yang lebih baik sehingga tidak merugikan petani lokal. 

Seperti diketahui, saat ini proses produksi garam di Indonesia masih menggunakan sistem evaporasi, yakni air laut dialirkan ke dalam tambak kemudian air yang ada dibiarkan menguap, setelah beberapa lama kemudian akan tersisa garam yang mengendap di dasar tambak tersebut. 

Menurut Yugi, sistem yang sangat mengandalkan faktor cuaca tersebut, membuat produktivitas garam tidak menentu sehingga kerap terjadi kelangkaan saat musim hujan. Ke depan, pihaknya berharap agar pemerintah dapat menginvetarisasi hal itu dengan dukungan perluasan lahan di daerah-daerah yang cocok untuk tambak garam hingga penerapan teknologi yang tepat. 

Lebih jauh Yugi menerangkan, kebutuhan garam nasional tidak terbatas hanya untuk konsumsi saja, akan tetapi para pelaku usaha industri di Tanah Air pun meminta ketersediaan bahan baku garam. Hal itu disebabkan mereka menambah kapasitas produksi guna memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus membidik pasar ekspor. Garam bahan baku dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri, mulai dari industri kaca, kertas, makanan, minuman, tekstil, pakan ternak, serta penyamakan kulit. 

Perbedaan mendasar garam konsumsi dan garam industri adalah kandungan natrium klorida atau NaCl. Garam industri harus memiliki kandungan NaCl 97,4 persen ke atas atau kandungan air sangat rendah, sementara garam konsumsi memiliki kadar NaCl di bawah 97 persen. 

“Sebetulnya garam industri dan konsumsi sama saja. Kita harapkan para petani juga bisa menghasilkan garam dengan standar itu agar bisa diserap dengan baik oleh industri juga,” ungkap Yugi. 

Menurutnya, dengan tidak adanya pembedaan antara garam konsumsi atau garam industri kemungkinan untuk menarik pihak swasta agar ikut memproduksi garam akan semakin besar. 

“Kalau regulasinya mendukung swasta untuk memproduksi garam, tentunya para pengusaha akan banyak yang berminat,” pungkas Yugi. (p/ab)